Esai berjudul “DARING ATAU TATAP MUKA?” 33 Tulisan Terbaik dalam Gebyar Literasi Tebuireng 2021
BAHIYYAH SARASWATI
Daring memang menarik, tetapi tatap muka lebih memahamkan. Jika anda, para murid, guru, mahasiswa-mahasiswi, disuruh memilih metode pembelajaran, apakah lewat daring atau tatap muka, apa jawaban kalian? Kalau saya pribadi jelas akan menjawab tatap muka. Ini berdasarkan pengalaman saya yang telah melewati keduanya. Ini hanya sekadar pembukaan, dan saya tidak akan membahas keadaan sekolah di luar sana yang saya tidak ketahui kondisinya. Saya hanya akan membahas perbandingan sekolah daring dengan tatap muka terbatas berdasarkan pengalaman saya tahun lalu.
Seperti yang kita ketahui, merebaknya covid-19 di Indonesia membawa perubahan besar dalam berbagai bidang yang ada, tak terkecuali pendidikan yang akan saya singgung di tulisan ini. sejak awal 2020, pemerintah Indonesia telah memutuskan menutup semua sekolah untuk mencegah penyebaran virus corona, tak terkecuali pondok. Pembelajaran di alihkan dari tatap muka menjadi tatap layar. Yang awalnya belajar di sekolah menjadi belajar di rumah. Tentunya perubahan ini tidak serta merta dapat diterima dengan cepat, baik bagi guru, murid, atau orangtua.
Belajar secara daring memang menguntungkan, apalagi bagi saya yang anak pondok. Ketika ada pelajaran yang tidak saya pahami, saya dapat mencari pembahasan lain pelajaran tersebut lewat internet. Tidak hanya itu, mencari bahan pelajaran di internet juga mudah. Tinggal ketik apa yang ingin dicari dan dalam hitungan detik sudah tersajikan, berbeda bila mencarinya di perpustakaan sekolah. Selain membutuhkan waktu lama, belum tentu buku yang kita cari memiliki pembahasan lengkap, bahkan bisa jadi buku yang kita cari tidak ada. Tak hanya itu, jujur saja, saat mendengar sekolah akan dilakukan secara daring, pada awalnya saya senang karena itu berarti saya tidak perlu mandi pagi. Seandainya zoom dimulai jam 7.30, maka pada pukul 7.15 saya baru beranjak mandi, terkadang mandi ketika sekolah telah selesai. Lalu, saya tidak harus mengenakan seragam lengkap ketika zoom, cukup mengenakan baju lengan panjang dan kerudung.
Tapi yah, itu hanya awalnya saja. Dua bulan kemudian, saya merasa jenuh dengan semua ini. Ada berbagai faktor yang membuat saya merasa seperti itu. Contohnya seperti adanya beberapa pelajaran yang tidak bisa saya pahami, meski telah mencari penjelasan rinci di internet. Sebutlah matematika. Sejak dulu, saya memiliki hubungan love-hate dengan pelajaran satu ini. menyenangkan, tetapi juga mengesalkan. Dan saya mengakui, matematika akan jauh lebih sulit dipahami ketika tidak bertemu dengan gurunya langsung. Kenapa? Karena matematika perlu diulang dengan banyak contoh berbeda, sedangkan waktu sekolah online yang lebih sedikit daripada sekolah biasa, ditambah kejaran waktu tidak memungkinkan itu semua. Tapi yang terpenting, saya merasakan kerinduan mendalam dengan teman-teman saya dan kegiatan yang biasa saya lakukan di pondok. Saya merindukan debat panas yang terjadi di kelas saat pelajaran PKN, merindukan keceriaan yang hadir saat teman berulang tahun. Saya memiliki satu teman yang, katakanlah, satu frekuensi dengan saya dan kami biasa menghabiskan waktu bersama. Tidak setiap hari, tapi cukup sering hingga kami merasa bagaikan saudara. Kami terbiasa menghabiskan waktu pada malam hari di jabo, tempat makan para santriwati Pondok Putri Tebuireng, sembari memakan jajanan yang kami beli di kantin. Jika sudah mengobrol, kami dapat menghabiskan waktu satu, dua, bahkan tiga jam. Sayangnya ketika di rumah, obrolan kami tak seseru di pondok. Suasana yang ditimbulkan antara bertemu langsung dengan lewat layar sangat berbeda. Saat di rumah, saya merindukan dirinya yang suka menampar bahu saya secara sedikit bertenaga jika perkataan saya dia anggap nyeleneh, dan saya hanya akan tertawa. Saya juga merindukan keseruan kegiatan pondok, seperti membakar sate per kamar saat Idul Adha. Kalau boleh jujur, saat belajar di rumah, godaan untuk menyontek lebih besar daripada di sekolah. Ini dipengaruhi oleh pemikiran bahwa guru hanya bisa memantau apa yang ada ditampilkan kamera.
Olahraga dan praktek tak dapat dilaksanakan, satu poin lagi yang membuat saya besedih. Keseruan dari dua hal tadi akan terasa bila melakukannya bersama teman. Tanpa sadar, rasa persatuan dan kekompakan akan terbentuk karena saat praktek berkelompok, kita diharuskan untuk bekerja sama. Kita juga akan diasah bagaimana menyelesaikan perseteruan perbedaan yang ada. Menurunkan ego bukanlah perkara yang mudah bila tidak pernah diasah. Dalam kelompok kita akan dihadapkan berbagai pendapat, sehingga komunikasi antar anggota kelompok diperlukan.
Dan tak terlupakan, sesi diskusi yang, bila terjadi di kelas saya, akan berubah menjadi ajang debat. Mereka semua kritis dan dapat mengemukakan pendapat yang bagus. Kami pasti akan berdebat untuk menemukan pendapat yang paling baik. Tapi yang patut disyukuri, ajang debat itu tidak pernah berakhir menjadi permusuhan karena goal kita adalah menemukan pendapat terbaik. Ajang diskusi juga dapat menambah wawasan seseorang dan melatih anak untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.
Dan ternyata, kejenuhan tak hanya menghinggapi saya. teman sekolah saya juga mengeluhkan hal yang sama. Mereka merindukan masa-masa berkumpul bersama sembari membicarakan berita hangat, atau hanya membahas pengalaman mereka hari itu. Mereka juga mengeluh tentang susahnya sinyal di daerah mereka yang membuat mereka malas belajar.
Lalu, sadar atau tidak sadar, pribadi diri mulai terabaikan. Ketaatan kita kepada tuhan juga, maaf bila menyinggung, sedikit berkurang. Bukti nyatanya adalah, banyak tempat-tempat ibadah yang terpaksa ditutup untuk mencegah corona. Para lelaki yang terbiasa shalat berjamaah di masjid terpaksa melakukannya di rumah. Tidak ada lagi kelompok mengaji di masjid. kegiatan pondok saya yang secara tidak langsung membentuk akhlak juga tidak dapat dilakoni karena ini.
Jadi bisa anda semua membayangkan betapa girangnya saya tatkala Ibu saya berkata bahwa yayasan akan mewajibkan semua santrinya untuk kembali ke pondok, melakukan pembelajaran tatap muka. Sayangnya ada banyak hal yang mengekang saya untuk cepat-cepat kembali, salah satunya gawai. Saya yakin bukan saya saja yang seperti ini.
Tetapi meski kembali, pondok tetap mewajibkan santrinya untuk melaksanakan protokol kesehatan. Sebelum masuk akan ada tes kesehatan, yaitu screening dan swab. Jika kita dinyatakan negatif, kita bisa langsung masuk ke pondok. Namun apabila positif, maka akan dikarantina selama empat belas hari.
Selama saya melakukan pembelajaran tatap muka, satu kendala yang saya rasakan adalah memakai masker. Kami diwajibkan untuk terus mengenakan masker saat melakukan kegiatan, dan itu sedikit menyusahkan. Mau makan, buka masker lalu ditutup. Mau minum, buka masker lalu ditutup. Begitu seterusnya. Lalu setiap jam Sembilan akan diadakan potensi sel, yaitu berjemur di bawah sinar matahari selama sepuluh menit, sedangkan pada waktu segitu, hawa terasa panas. Lalu, makanan yang diperbolehkan berada di kantin juga terbatas. Tidak boleh es dan makanan yang pedas seperti makaroni.
Tapi kelebihan dalam belajar tatap muka adalah, saya dapat leluasa bertanya pada guru bila ada pelajaran yang tidak dipahami. Tidak terbatas waktu. Maksudnya adalah, kebanyakan daring menggunakan google classroom sebagai sarana belajar sehingga bertemu dengan guru relative singkat., tak hanya itu, saat belajar tatap muka kita akan dituntut untuk benar-benar belajar. Interaksi dengan orang lain pun terasah. Bandingkan dengan belajar daring. Kita mungkin memang maish berinteraksi dengan teman, tetapi itu lewat aplikasi, bukan bertemu langsung. Efek yang ditimbulkan dari bertemu face to face dengan tidak sangat berbeda. Kepercayaan diri kita akan terasah, karena saat berbicara, focus orang akan mengarah ke kita. Dan bagi yang tidak terbiasa bertatapan akan merasakan gugup. Lalu semisal ada praktek, guru dapat membimbing kita dengan mudah sebab terjadi interaksi secara langsung. Tak hanya itu, osis pun dapat menciptakan kegiatan-kegiatan yang pastinya tidak akan seru bila tidak dilakukan secara hadir, seperti class meeting.
Saya rasa topik perbincangan antara pembelajaran daring dan tatap muka masih akan terus berlanjut untuk waktu yang lama. Ini berdasarkan fakta masih banyaknya daerah di Indonesia yang berzona selain hijau, sehingga tidak aman untuk melakukan pembelajaran. Tapi bisa saja fakta ini berubah dengan adanya vaksinasi, meski pelaksanaanya belum merata ke semua orang. Tapi toh, ini bukan wewenang saya untuk menentukan metode yang paling baik untuk diterapkan di masa pandemi. Semua yayasan memiliki bahan pertimbangan masing-masing untuk menentukan kelayakan metode pembelajaran yang akan mereka terapkan di sekolah mereka. Yang terpenting sebenarnya adalah cara sekolah membuat pembelajaran sangat efektif di tengah keterbatasan waktu. Ini hanyalah opini saya sebagai seorang pelajar. Saya hanya bisa berdoa keadaan akan menjadi lebih baik untuk ke depannya.