Cerita Islami : Pengingat, Bukan Penilai
Oleh : Fatihatul’Izza (kelas 7B, SMP A. Wahid Hasyim Tebuireng Jombang)
“Alhamdulillah, ya, hari ini Giezza berangkat ke pondok,” ujar Bu Salimah seraya mengelus tengkuk kepalaku.
“hehehe, iya, Ibu,” jawabku jelas menunjukkan senyum bahagia disana.
“semangat, ya, nak Giezza, yang betah disana, ini sudah ibu bawakan bolu pisang kesukaanmu,” kata Bu Salimah lembut.
“waaah, Alhamdulillah, terima kasih, Bu Salimah!” ucapku. Mendengar kata bolu pisang seperti menjadi sihir tersendiri pada diriku.
“Kak, ini tolong masukin ke mobil dulu,” Mama memberikan sebuah plastik yang lumayan besar— kutebak isinya bekal perjalanan.
“oh, iya, Ma,” aku meraih plastic itu dari tangan Mama dan membawanya ke mobil sesuai perkatannya barusan.
“aduh, aku sudah tidar sabar lagi untuk bertemu teman-teman baruku disana,” gumamku seraya membuka pintu mobil. tanpa sadar, nalarku melayang menjelajahi dunia imajinasi.
“eh, Giezza!” panggil Kak Raisa.
panggilan dari Kak Raisa membuyarkan lamunanku. Aku menoleh kearah sumber suara.
“hey, kak!” balasku.
“kamu mau berangkat sekarang?” tanyanya.
“enggak sekarang, sih, tapi hari ini,” jawabku seadanya.
“ohh,” ia mengangguk-angguk mengerti.
“Kak, ayo masuk, ada Bu Salimah bawa bolu pisang!” seruku, menarik tangan Kak Raisa, tanpa menunggu jawaban darinya.
“Assalamu’alaikum,” ujar Kak Raisa.
“eh, ada Raisa,” sambut Mama, menghampiri Kak Raisa.
“iya, Tante, Bu Salimah,” Kak Raisa menyalami tangan Mama dan Bu Salimah bergantian.
“Tante, ini ada titipan dari Umi, buat Giezza,” ucap Kak Raisa, menyerahkan kantong plastik yang ia genggam sedari tadi.
Mama meraih kantong plastik itu. “waaah, terima kasih, ya, Raisa,” kata Mama, disambut senyuman Kak Raisa.
‘drrrt… drrrt…’ dering ponsel Kak Raisa.
“Tante, izin telepon, yah,” kata Kak Raisa, dijawab anggukan dari Mama. Ia segera menjauh dari kami bertiga dan menerima panggilan itu.
“Giz, Tante, aku pamit pulang, ya. ternyata hari ini Nenek datang,” ujar Kak Raisa setelah beberapa saat menelepon, mengulurkan tangannya didepan tangan mama.
“oh, iya, Raisa, nanti Tante kabari kalau Giezza sudah mau berangkat,” mama menyambut uluran tangannya, disalimi dengan Raisa.
“Giz, aku pulang,” pamit Kak Raisa.
“iya, Kak. Nanti kesini lagi, ya, pas aku mau berangkat,” jawabku.
“iya, Giiiz,”.
“dadah Giezza, hati-hati, ya!” seru Kak Raisa.
“semangat, nak Giezza!” ujar Bu Salimah.
Aku melambai-lambaikan tangan melalui kaca jendela mobil.
“Kak, dzikir dan sholawat, jangan lupa,” ucap Mama.
“siap, Ma!” sahutku.
Aku melantunkan sholawat nabi tanpa bersuara, juga berdzikir selama berada didalam mobil.
“Kak, mau snack?” tawar Mama seraya memperlihatkan bolu pisang yang tadi dibuatkan Bu Salimah.
“oh iya, mau, Ma!” jawabku bersemangat, mengambil satu potong Bolu.
“bismillah”, aku merasakan satu gigitan bolu pisang didalam mulutku.
“YUMMY! ENAK BANGET!” ucapku.
“hayo, Kak, dihabiskan dulu yang di mulut, baru bilang enak,” ujar Mama.
“hehehe, iya, Ma, maaf,” jawabku setelah menelan satu gigitan bolu tadi.
Setelah menghabiskan satu potong bolu itu, aku memilih untuk tidur.
“Kak, Kak, bangun, sholat ashar dulu,” Mama menggoyang-goyangkan tubuhku.
Aku membuka mata perlahan. “iya, Ma,”.
Setelah beberapa saat mengumpulkan nyawa, aku mengambil mukena dari dalam tas yang kubawa, dan menyusul Mama juga Ayah di masjid.
‘silahkan, silahkan,” suara-suara para penjual makanan dan aroma masakannya sangat menggodaku. aku melihat kesana-kemari, bermacam-macam makanan ada disini. “aduh, aku sholat dulu, deh, terus aku beli makanannya selesai sholat,” gumamku. aku kembali berjalan tanpa tergiur godaan-godaan makanan itu.
“Kak, gak mau beli makanan?” Tanya Ayah.
Aku berpikir beberapa saat. “gak usah deh, Yah, soalnya tadi Bu Salimah sama Kak Raisa ngasih makanan, Mama juga udah bawa beberapa makanan dari rumah,” jawabku. Walaupun tadinya memang aku menginginkan makanan-makanan itu, tetapi jika terlalu mengikuti hawa nafsu juga tidak baik, kan?
Ayah hanya mengangguk-angguk sambil mengelus lembut kepalaku.
“ayo, Yah, kita berangkat lagi,” ujar Mama yang baru saja datang.
Ayah melihat sekilas arloji yang dikenakannya. “ayo, nanti berhenti pas isya saja, di-qada sholat maghrib-nya,” ucap Ayah.
Kami bertiga pun masuk kedalam mobil dan menempuh perjalanan kembali.
Aku menyalakan ponsel. membuka aplikasi Al-Qur’an disana. aku membaca surah Al-Kahfi, karena kebetulan sudah menjelang malam Jum’at.
Keesokan paginya…
“sehat-sehat, ya, Kak, yang betah disini, jangan sedih-sedih,” ucap Mama ketika memelukku.
“iya, Ma,” jawabku. aku tidak bisa menjawab lebih banyak, karena menahan tangisku saat ini.
“Kakak, belajarnya yang rajin, ya. Do’ain Ayah sama Mama terus,” ucap Ayah yang matanya mulai memerah.
“iya, Yah, pasti, kok,” jawabku.
“sudah bisa berangkat, Dik?” Tanya Ustadzah Milma, Pembina kamar baruku.
Aku melihat Ayah dan Mama bergantian, “sudah, Ustadzah,” jawabku.
Aku mencium tangan Ayah dan Mama, “dadah Ayah, dadah Mama, sehat-sehat, ya!” ucapku.
Aku mendekat ke Ustadzah. “Assalamu’alaikum,”.
“Wa’alaikum salam,” jawab Ayah dan Mama bersamaan.
Aku berbalik badan, berjalan dengan Ustadzah yang sedang merangkul pundakku.
“anak pintar,” ucap Ustadzah sambil tersenyum lembut.
Aku menjawabnya dengan senyuman.
“itu kamarnya, Dik, yang paling pojok,” tunjuk ustadzah pada pintu yang berada di ujung koridor.
Aku berjalan menuju pintu tersebut seraya menarik koper besar yang kubawa.
‘krieeet’. Ustadzah membuka pintu kamar itu.
Terlihat sebuah pintu, dan di sela-selanya aku melihat beberapa deretan ranjang tingkat.
“ayo, masuk,” kata Ustadzah.
“bismillah”, aku melangkahkan kaki kedalam, dan melihat lebih jelas isi ruangan ini.
“yang ini ruang kamar Ustadzah,” Ustadzah menunjuk pintu yang berada tepat di seberang pintu masuk.
“nah, ini ruangan kamu dan teman-teman nanti,” aku menyapu pandangan ke seluruh penjuru kamar.
“ayo, Dik, cari ranjang yang kosong,” kata Ustadzah.
aku berjalan di deretan ranjang, sampai menemukan ranjang deretan kedua sebelah kanan dari ujung, bagian bawah. “Ustadzah, ini ranjangku,” ujarku.
“oh, iya, yasudah, habis ini, beres-beres baju, terus tidur saja, menunggu teman-teman pulang sekolah,” sahut Ustadzah.
“iya, Ustadzah,”.
Aku membuka mata, disambut dengan kericuhan suara-suara manusia yang entah sedang apa.
Aku turun dari ranjangku.
“loh, ini siapa?” Tanya seorang anak yang memakai jilbab cokelat.
“EH INI GIEZZA BUKAN, SIH?” heboh seorang anak yang memakai handuk seperti siput di kepalanya.
“e-eh, iya…” jawabku terbata-bata.
“YEEEY, GIEZZA DATANG!” seru anak-anak yang ada di kamar.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
“hei, Giezza. Aku Hilma, salam kenal, ya!” ucap Hilma mengulurkan tangannya.
Aku menyambut uluran tangannya, “eh iya, aku Giezza,”.
“aku, aku, aku, aku!” anak-anak menyerbuku, mengajakku berkenalan. Walaupun sedikit terkejut, aku sangat senang berada disini. Mereka semua sangatlah ramah.
“Allahuakbar, Allahuakbar,”
keadaan yang semulanya bising, mendadak sunyi tanpa suara.
“ayo wudhu, terus ke masjid!” ujar Navira, sang ketua kamar.
Aku segera menuju ke belakang untuk berwudhu.
“Kayla, kok kamu wudhu-nya begitu, sih?” ujar Syala mengomentari.
“aku sudah diajari sejak awal seperti ini, Syal,” balas Kayla.
“tapi, kan, itu salah!” seru Syala.
“enggak, kok, Syal,” jawab Kayla, masih dengan nada yang santai.
“hey, sudah, sudah,” leraiku.
“sebenarnya, wudhu kalian berdua tidak salah, kok. berbeda cara itu hal yang wajar, bukan berarti ketika cara Syala seperti ini, dan melihat cara Kayla yang berbeda, lalu Syala menyimpulkan bahwa cara berwudhu Kayla salah. seperti yang kita ketahui, ada 4 mahzab yang dapat diikuti, dan mahzab-mahzab itu memiliki hukum yang berbeda-beda, kita harus menghargai segala hal yang berbeda, entah dalam sebuah amalan, ibadah, bersuci, dan sebagainya dengan sesama kaum muslimin-muslimat, karena setiap pribadi pasti memiliki cara yang ia lakukan, sesusai mahzab yang dianutnya,” jelasku.
Syala memandang Kayla dengan tatapan bersalah. “maaf, ya, Kay. maaf kalau kamu tersinggung dengan perkataanku,” ucap Syala.
“iya, Syala, kumaafkan. santai saja,” jawab Kayla.
“Giezza, terima kasih sudah mengingatkanku, ya. Kalau kamu tidak menjelaskannya mungkin aku sudah melakukan hal ini kepada orang lain juga. terima kasih, ya, Geizza,” ujar Syala.
“iya, Syala, sama-sama. tugas kita sebagai manusia memang hanya bisa mengingatkan, bukan menilai, dan bukan menganggap itu sebuah dosa atau kebaikan,” ucapku.
Syala dan Kayla tersenyum.
“SYALA, KAYLA, GIEZZA, CEPETAN!” teriak Navira dari luar tempat wudhu.
“IYA-IYA, SEBENTAR NAVIRA!” sahutku tak kalah kencang.
1 Comment
good information